Auditorium Fakultas Biologi UGM – Sabtu 30 April 2016 – Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap penanganan gigitan ular menyebabkan penanganan pasien kasus gigitan ular di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti prosedur Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kurang lebih seperti itulah yang diungkapkan oleh pakar gigitan ular dan toksikologi, Dr. dr. Tri Maharani, M.Si., Sp.EM., dalam Kuliah Umum “First Aid Management of Dangerous (Venomous and Poisonous) Animals di Auditorium Fakultas Biologi, Sabtu, 30 April 2016.
Acara tersebut berlangsung secara terbuka, terdiri dari 4 sesi yaitu pembukaan oleh MC dan sambutan dari Perwakilan Fakultas Biologi dalam hal ini diberikan oleh U.P. Kemahasiswaan-Bapak Rury Eprilurahman, S.Si., M.Sc., kemudian pematerian First Aid Management oleh Dr. dr. Tri Maharani, M.Si., Sp.EM., dilanjutkan pematerian mengenai Antivenom oleh dr. Christian Budiman dari Biofarma, sesi diskusi dan tanya jawab dan diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan dan foto bersama. Acara ini dihadiri tidak hanya mahasiswa dari Fakultas Biologi, tetapi ada juga yang berasal dari Fakultas Kehutanan dan Fakultas Kedokteran Hewan UGM, bahkan ada yang dari UNISULA Semarang, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kelompok Studi Biodiversitas UNS Solo, dan Yayasan SIOUX Indonesia.
Berdasarkan prosedur WHO tahun 2010, dalam kuliah yang disampaikan dokter yang akrab disapa Bu Maha tersebut menjelaskan bahwa pengisapan bisa pada bagian tubuh yang tergigit tidak boleh lagi dilakukan karena venom (bisa) ular tidak hanya menyebar melalui pembuluh darah, melainkan melalui pembuluh limfatik tubuh. Dengan kata lain, mengeluarkan darah tidak akan membuat bisa yang masuk akan keluar juga, tetapi hanya akan memperparah kondisi korban. Prosedur yang benar untuk pertolongan pertama pasien yang terkena gigitan ular berbisa sebetulnya cukup dilakukan immobilisasi (pembidaian agar korban tidak melakukan banyak pergerakan) dan pressure bandage dengan membebat bagian yang terkena gigitan dengan kain elastis (jika ular tersebut memiliki neurotoksin). Hal yang paling penting adalah korban harus segera dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit untuk mendapatkan pertolongan dari pihak medis.
Untuk saat ini, Indonesia baru memiliki SABU (Serum Anti Bisa Ular) atau antivenom jenis polyvalen, tutur dokter Chris. Antivenom merupakan imunoglobulin yang dipurifikasi dari plasma darah hewan (kuda, keledai,domba) yang diimunisasi dengan venom dari satu/lebih spesies ular. Untuk antivenom polyvalen sendiri berarti terdiri dari beberapa venom ular dalam pembuatannya, sedangkan yang monovalen hanya satu jenis bisa ular. Antivenom polyvalen ada dua jenis yang ada di Indonesia, yaitu polyvalen I (untuk antivenom ular Indonesia Barat dan Tenga) dan polyvalen II (untuk antivenom ular di Indonesia timur dan Maluku). Namun Maharani menambahkan untuk memakai serum monovalen pun, tenaga medis di Indonesia perlu mengetahui semua jenis racun ular yang menggigit pasien.
Padahal kasus gigitan ular di Indonesia cukup banyak terjadi meskipun data yang tersedia tidak begitu baik. Tak sedikit yang menjadi korban gigitan ular meninggal dunia. Jumlah itu bisa lebih banyak jika cara penanganan yang baik belum diterapkan. Harapannya selain para tenaga medis yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan jaringan dalam menangani kasus gigitan ular, masyarakat awam juga bisa mengetahui cara penangan gigitan ular yang benar sehingga korban yang selamat akan lebih banyak.
Selain mengenai penanganan gigitan ular, juga disampaikan mengenai penanganan hewan berbahaya yang lain seperti laba-laba, ubur-ubur kotak/ box jellyfish, lebah, semut, ikan, dan kepiting yang beracun beserta cara penangannya. (Ikhsan Jaya – KSH)