Tikus sawah merupakan hama utama tanaman padi di Indonesia selain wereng coklat dan penggerek batang. Berdasarkan data dari berbagai sumber, kerugian akibat serangan tikus sawah pada skala nasional setara dengan Rp. 3,3 triliun per tahun apabila dikaitkan dengan rerata produktifitas padi yang mencapai 5,139 ton/Ha dan harga gabah kering giling Rp. 4600/kg. “Tingginya kemampuan reproduksi tikus sawah dan ketersediaan sumber makanan di lapangan secara terus menerus menyebabkan hama ini sulit dikendalikan” papar Nur’aini Herawati, pada ujian doktor di Fakultas Biologi, Senin (18/7).
Sebagian besar petani di Indonesia mengandalkan rodentisida sebagai metode pengendalian tikus sawah, namun cara ini tidak efektif untuk menekan populasi dan kerusakan akibat serangan tikus sawah. Bahkan, aplikasi rodentisida di lapangan juga memiliki dampak samping terhadap organisme non target karena bersifat toksik dan tidak ramah lingkungan. Teknologi pengendalian tikus sawah yang ramah lingkungan dan efektif mampu menekan perkembangbiakannya merupakan salah satu alternative untuk mengatasi hama tersebut. “Penggunaan senyawa 4-vinyl Cyclohexene Diepoxide atau VCD sebagai bahan antifertilitas tikus sawah perlu dikaji sebagai inovasi pengendalian tikus sawah karena terbukti efektif mampu mengendalikan kesuburan pada tikus putih betina” imbuh Peneliti di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi itu.
Hasil penelitian disertasi Nur’aini yang berjudul Efektivitas VCD (4 Vinyl Cyclohexene Diepoxide) Sebagai Bahan Antifertilitas Tikus Sawah (Rattus argentiventer, Rob and Kloss) Betina pada Skala Laboratorium menunjukkan bahwa VCD memberikan efek ovotoksik pada terhadap ovarium tikus sawah baik secara in vivo maupun in vitro. Hal tersebut ditunjukkan dengan penurunan jumlah folikel primordial pada ovarium tikus sawah. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa efek ovotoksik VCD terhadap fertilitas tikus sawah betina melalui racikan umpan di Laboratorium belum terdeteksi dalam kisaran waktu satu bulan pasca perlakuan di lapangan. “Belum terdeteksinya efek ovotoksik VCD tersebut dalam waktu satu bulan dikarenakan masih terdapat folikel dalam perkembangan pada ovarium tikus sawah saat perlakuan, sehingga efeknya baru dapat terlihat setelah folikel dalam perkembangan tersebut habis” jelas Nur’aini.
“Dengan hasil penelitian ini diharapkan penggunaan senyawa VCD dapat menjadi inovasi teknologi pengendalian tikus sawah karena metode ini aman dan ramah lingkungan. Hal itu akan saya kempangkan di instansi tempat saya bekerja” pungkas Nur’aini.