Oleh: Budi Setiadi Daryono*
Menanggapi artikel Rudi Wahyono di Jawa Pos pada 7 Maret 2017, ada beberapa hal menarik yang penting untuk digarisbawahi. Pertama-tama, fenomena anomali iklim La Nina memang harus dilihat sebagai bagian dari rangkaian El Nino–Southern Oscillation (ENSO) dan bukan berdiri sendiri. ENSO yang diawali dengan El Nino pada 2015 hingga awal 2016 serta berlanjut dengan La Nina pada 2016–2017 membawa dua isu utama berupa ketahanan pangan nasional sekaligus cekaman berupa seleksi terhadap biodiversitas di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2002 menyatakan bahwa La Nina pada 1996 membawa kenaikan produktivitas beras Indonesia sebesar 2,73 persen dari total produksi beras pada 1995, yaitu 1.357.366 ton. Namun, El Nino yang terjadi pada 1998 dan hanya berselang dua tahun dari 1996 justru mengurangi produksi beras hingga 5 juta ton dan mengakibatkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan nasional serta kondisi ekonomi Indonesia pada waktu itu. Dengan demikian, bukan tidak mungkin, jika tidak ditangani dengan serius, isu ketahanan pangan akibat peristiwa ENSO tersebut juga bakal diwarnai peristiwa sosial politik berskala nasional.
Peringatan itu pernah disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya. Dia menyatakan, dalam sejarah Indonesia, kerap kali jika terjadi El Nino skala besar, peristiwa sosial dan politik yang juga besar senantiasa mengiringi (baca ”Kepala BMKG Andi Eka Sakya: La Nina Belum Puncaknya” di beritagar.id 29 September 2016).
Untuk menanggulangi ancaman ketahanan pangan nasional akibat anomali iklim ENSO tahun ini, diperlukan keseriusan pemerintah, khususnya beberapa kementerian terkait (antara lain Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog), untuk senantiasa berperan aktif memprediksi, menyusun, dan mengeksekusi langkah-langkah mitigasi yang strategis serta tepat. Meliputi proses penyediaan pangan dari hulu (petani) hingga hilir (konsumen), paling tidak sampai akhir tahun ini.
ENSO juga dapat memengaruhi harga pangan akibat ketimpangan pasokan serta permintaan, juga memengaruhi besaran biaya dan teknis distribusi. Tingginya curah hujan akibat La Nina akhir-akhir ini juga mengakibatkan pasokan bahan pangan di beberapa tempat terputus karena terkena banjir, tanah longsor, atau bahkan tingginya gelombang pasang air laut. Perbaikan metode, jalur distribusi, sarana, dan prasarana untuk mengatasi ketimpangan pasokan bahan pangan yang dapat terjadi akibat ENSO juga harus dipersiapkan mulai sekarang jika tidak ingin terjadi lonjakan beberapa harga komoditas pertanian. Sebagaimana terjadi pada harga cabai yang melonjak hingga di atas Rp 100 ribu per kilogram pada Januari–Februari 2017. Hal itu antara lain terjadi pada tanaman hortikultura, sayur, dan buah-buahan yang tidak toleran terhadap paparan curah hujan yang tinggi. Sehingga tanaman menjadi rentan dan mengakibatkan gagal panen serta lonjakan harga.
Beberapa waktu lalu Bambang Irawan, peneliti di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor, juga menyampaikan bahwa fluktuasi berupa penurunan produksi pangan akibat El Nino dan peningkatan produksi pangan akibat La Nina paling tinggi terjadi pada produksi jagung. Hal itu menunjukkan bahwa produksi jagung paling sensitif terhadap peristiwa anomali iklim sehingga daerah-daerah sentra produksi jagung seperti Madura, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan perlu diberi perhatian khusus. Penggunaan green house untuk pengembangan bibit unggul yang tahan terhadap cekaman perendaman kekeringan dan perendaman –serta penggunaan screen house untuk budi daya dan skala produksi buah (meskipun bukan satu-satunya)– dapat menjadi syarat penting dalam menjamin ketersediaan pasokan yang berkelanjutan dan mengurangi ketidakpastian akibat fenomena ENSO berupa La Nina yang terjadi pada tahun ini.
Selain ancaman ketahanan pangan dan dampaknya terhadap kondisi sosial politik nasional sebagaimana paparan sebelumnya, ENSO dapat menjadi ancaman serius bagi kelangsungan keanekaragaman hayati di Indonesia. Dampak ENSO bagi kehilangan dan kepunahan biodiversitas memang tidak dapat dirasakan langsung seperti halnya pada ancaman ketahanan pangan. Namun, kehilangan biodiversitas dalam jangka panjang justru akan lebih merusak tatanan ekosistem serta menimbulkan kerugian sistemik yang tidak dapat diukur dengan materi karena berlangsungnya kepunahan.
La Nina yang membawa curah hujan lebih tinggi disertai kenaikan suhu dan kelembapan relatif rerata akan memberikan cekaman terhadap ekosistem dan dapat menimbulkan seleksi alam. Dalam hal ini, keberadaan La Nina akan menciptakan bottleneckeffect terhadap spesies yang memiliki toleransi rendah akan kenaikan suhu serta cekaman perendaman akibat tingginya curah hujan dan kelembapan. Misalnya yang terdapat pada ekosistem hutan padang rumput di Nusa Tenggara, sebagian Jawa Timur, dan Bali.
Flora dan fauna indigenous asli Indonesia bisa jadi terancam punah atau setidaknya mengalami tekanan seleksi yang kurang menguntungkan. Contohnya adalah penentuan jenis kelamin penyu hijau yang sangat dipengaruhi kondisi suhu pada saat pengeramannya. Penyu hijau (Chelonia mydas L.) merupakan spesies yang jenis kelamin anakannya dipengaruhi kondisi suhu (temperature sex determination/TSD). Sebagai contoh, pada suhu lebih dari 29 derajat Celsius, anakan penyu umumnya berkelamin betina. Sebaliknya, pada suhu kurang dari 29°C, umumnya anakan penyu berkelamin jantan. Jika pada saat pengeraman suhu lingkungannya lebih dari 33°C, akan timbul kematian bagi embrio penyu.
Akhir kata, semoga fenomena ENSO berupa La Nina yang terjadi tahun ini dapat menjadi cermin untuk refleksi bagi bangsa kita bahwa pada hakikatnya manusia memang tidak dapat lepas dari alam. Juga, sudah selayaknya fenomena ENSO ini menjadikan kita lebih mawas diri serta menjaga kelestarian alam dengan lebih baik. (*)
*Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada serta ketua Konsorsium Biologi Indonesia (Kobi)