Pengukuhan Prof. Dr. Tjut Sugandawaty Djohan, M.Sc. sebagai Guru Besar Fakultas Biologi dilakukan dalam Rapat Terbuka Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada di Balai Senat Universitas Gadjah Mada. Pengukuhan Prof. Dr. Tjut Sugandawaty Djohan, M.Sc. sebagai Guru Besar dalam bidang Ekologi menambah daftar Guru Besar di Universitas Gadjah Mada yaitu sebagai Guru Besar ke-508 dan ke 19 di Fakultas Biologi UGM.
Acara pidato pengukuhan tersebut selain merupakan bagian dari Rapat Terbuka Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, juga merupakan salah satu rangkaian kegiatan Dies Natalis Fakultas Biologi ke-65 sekaligus Lustrum ke-13 Fakultas Biologi. Turut hadir dalam acara ini adalah Ketua Dewan Guru Besar UGM, Sekretaris Dewan Guru Besar UGM, Rektor UGM, Ketua Senat Fakultas Biologi UGM dan Dekan Fakultas Biologi UGM. Pada kesempatan yang sama juga hadir Prof. Ir. Siti Malkhamah, M.Sc., Ph.D., Prof. Ir. Radianta Triatmadja, Ph.D., Prof. Dr. drh. Wayan Tunas Artama, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut., M.Agr.Sc., Prof. Dr. L. Hartanto Nugroho, M.Agr., Prof. Dr. Purnomo, M.S., Prof. Dr. Endang Semiarti, MS, M.Sc.
Pelaksanaan Rapat Terbuka tersebut tidak hanya dilaksanakan secara luring di balai senat, namun juga disiarkan secara daring melalui Youtube Kanal UGM http://ugm.id/Pengukuhan210920 juga Kanal Pengetahuan Fakultas Biologi UGM https://ugm.id/diesbio65. Pelaksanaan secara daring turut mengundang Plt Gubernur Provinsi Aceh, Walikota dan Wakil Walikota Sabang, Sekretaris Daerah Sabang, dan dinas-dinas terkait antara lain DPRK, BAPPEDA, BPKS Sabang. Selain itu, turut menyaksikan secara daring adalah Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng., IPU juga Prof. Emeritus UCL-Belgium dan Former Director of Joint Research Center European Union, Dr. Jean-Paul Malingreau, Co-Founder Orangutan Republik Foundation Dr. Gary L. Shapiro, Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, S.U.,D.Sc dari Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. Yudi Pawitan dari Karolinska Institutet, Prof, Drh, Adji Santoso Dradjat, BSc.Vet, M.Phil, PhD dari Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Prof. Dr. H. Agil Al Idrus, M.Si dari FKIP UNRAM, Liz-Varnhagen dari Berkeley, Liston Siregar dari BBC London, juga teman-teman PERMIAS DAVIS.
Pada pidato ini, Prof. Dr. Tjut Sugandawaty Djohan, M.Sc. mengangkat tema Krisis Ekologi, Tantangan dan Harapan. Sebuah judul yang diangkat untuk menggambarkan bahwa kerusakan ekosistem terjadi dalam landscape-seacape dan menjadi ancaman dalam skala global.
Kerusakan ekologi atau bencana ekologi sering menjadi pemberitaan di koran hampir setiap hari. Kerusakan di berbagai ekosistem bahkan sudah dilaporkan sejak Millenium Ecosystem Assessment (MA) pada tahun 2001 yang menunjukkan lebih dari 60% ekosistem global dalam keadaan terdegradasi. Saat ini, kondisi ekosistem terus mengalami tekanan dan perubahan iklim mempurburuk keadaan. Kekeringan dan banjir menjadi bencana kembar setiap tahunnya. Kerusakan ekosistem hutan hujan dan hutan gambut tersebut dalam skala luas sangat berpengaruh pada perubahan iklim, El Nino dan La Nina, sehingga terjadi peningkatan suhu ekstrim, musim hujan ekstrim basah dan musim kemarau ekstrim kering. Kondisi yang sangat kritis ini tentunya menuntut kita sebagai masyarakat dunia memahami Ekologi, apapun bidang kita. “Mengapa kita perlu Ekologi? karena kita hidup pada abad Ekologi, dan kita harus belajar tentang ekologi” Pungkas beliau, menyadur pernyataan dari Krebs tahun 2014. Hal ini karena apa yang buruk terhadap keanekaragaman hayati juga buruk untuk populasi manusia, karena manusia tergantung pada jasa ekosistem.
Pada satu sisi, kita juga wajib untuk terus memiliki harapan meskipun hidup di tengah tantangan, agar kita selalu dapat berusaha bersama-sama dalam memperbaiki ekosistem hutan hujan, hutan bakau dan hutan gambut yang rusak, dan dapat hidup selaras dengan alam. Berbagai upaya telah dilakukan negara-negara didunia, misalnya Rio Earth Summit tahun 1992 hingga UN Decade on Ecosystem Restoration yang ditargetkan tercapai pada 2030. Tidak terkecuali Indonesia, melalui skema insentif Results-Based Payment (RBP), Indonesia dinilai berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan hujan, gambut dan bakau. Indonesia memperoleh dana sebesar 103,8 Juta USD atau sekitar Rp 1,5 Triliun dari Green Climate Fund (GCF) dan 56 juta USD atau sekitar Rp 800 miliar dari pemerintah Norwegia. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menjaga ekosistem, Indonesia dapat memperoleh pendanaan untuk mendukung program-program yang tidak hanya digunakan untuk melestarikan ekosistem, tapi juga memastikan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat secara luas, bukan hanya segelintir manusia.
Beliau juga menyampaikan bahwa dalam menghadapi krisis ekologi di ekosistem – ekosistem khususnya ekosistem hutan tropika yang rusak, kita tidak sendirian akan tetapi kita bersama dunia berusaha mengembalikan jasa ekosistemnya. Bersama program SDGs, dan 2021-2030 Decade on Ecosystem Restoration. Jadi ada harapan baru untuk merestorasi ekosistem-ekosistem yang rusak.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Tjut Sugandawaty Djohan, M.Sc. juga menyampaikan peran sentral perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan di saat ini dan masa depan “Oleh sebab itu, maka perguruan tinggi harus mendukung program tersebut dengan mengembangkan dan menguatkan mata kuliah-kuliah tentang ekologi agar mahasiswa lulusan, universitas, pemerintah, masyarakat, pebisnis, dan NGO mampu dan siap untuk membantu dunia mengembalikan ekosistem-ekosistem yang rusak, sehingga goals dari SDGs dan 2021-2030 UN Decade on Ecosystem Restoration tercapai” Tegas beliau sebagai penutup dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ekologi