Siapa yang tak kenal batik? Batik adalah salah satu bentuk kearifan lokal asli Indonesia yang telah ditetapkan sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity, atau warisan budaya lisan dan tak benda oleh UNESCO per tanggal 2 Oktober 2009 yang kemudian dikenal sebagai Hari Batik Nasional. Sejak saat itu, eksistensi batik Indonesia kian melambung hingga kancah internasional. Hal ini berdampak pada nilai ekonomi batik yang semakin meningkat, dibuktikan dengan nilai ekspor batik pada tahun 2015 yang naik sebesar 6,3% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, atau mencapai USD 3,1 miliar (senilai dengan Rp41 triliun) dengan pasar ekspor utamanya yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Bahkan di Indonesia sendiri, batik kini telah menjadi pakaian yang cukup fashionable untuk semua kalangan. Perkembangan batik yang pesat ini tentunya membawa ‘angin segar’ dari segi perekonomian. Tetapi di sisi lain, meningkatnya produksi batik juga berarti meningkatnya penggunaan pewarna tekstil. Hingga saat ini pun, masih banyak industri batik yang menggunakan pewarna tekstil sintetis seperti indigosol, naftol, rapid, basis, indanthreen, dan procion. Alasan penggunaan pewarna sintetis antara lain karena mudah diperoleh dan mampu memberi warna yang baik saat dipakai untuk mewarnai kain batik. Namun demikian, penggunaan pewarna sintetis ini pun menimbulkan masalah kesehatan dan juga pencemaran lingkungan.
Industri tekstil yang menggunakan pewarna sintetis diakui sebagai salah satu penyumbang polutan terbesar, karena limbah yang dihasilkannya mengandung berbagai macam zat kimia berbahaya dan logam berat yang dapat mencemari sumber air bersih. Sungai Cikijing di Jawa Barat adalah salah satu bukti sumber air yang tercemar limbah pewarna tekstil sintetis. Yang lebih berbahaya lagi adalah, ternyata pewarna tekstil sintetis juga dapat bersifat toksik, mutagenik, bahkan karsinogenik (dapat memicu kanker)! Dengan demikian, untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pewarna sintetis ini, salah satunya dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber pewarna alami.
Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia memiliki potensi keragaman sumber daya alam baik hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme yang sangat menjanjikan. Dengan kekayaan ini, alternatif pencegahan dampak negatif dari penggunaan pewarna sintetis melalui ekstraksi pigmen warna dari makhluk hidup menjadi terobosan baru yang sangat mungkin dilakukan. Berbagai penelitian untuk memperoleh pewarna alami pun telah banyak dilakukan, terutama ekstraksi pigmen tumbuhan. Namun, produksi pigmen tumbuhan masih memiliki berbagai kelemahan, seperti ketidakstabilan jumlah produksi pigmen terhadap perubahan intensitas cahaya, temperatur, juga pH tanah. Potensi keanekaragaman mikroorganisme di Indonesia, khususnya bakteri penghasil pigmen, mendasari ide penelitian ini untuk menemukan pigmen warna alami yang lebih stabil, sebagai pengganti pewarna sintetis pada industri tekstil, terutama batik.
Kelompok bakteri tanah merupakan kelompok mikroorganisme penghasil pigmen terbanyak yang dapat diisolasi dengan mudah dari berbagai wilayah. Beberapa spesies bakteri tanah penghasil pigmen warna alami yang kami peroleh di antaranya Serratia marcescens yang memproduksi pigmen prodigiosin berwarna merah, Streptomyces memproduksi pigmen actinorhodin berwarna merah atau biru, Janthinobacterium lividum memproduksi pigmen violacein berwarna ungu, dan Chryseobacterium memproduksi pigmen carotenoid berwarna kuning-oranye. Untuk memproduksi pigmen-pigmen tersebut dalam jumlah besar dapat diakukan dengan optimasi jenis dan pH media. Prodigiosin paling banyak dihasilkan dengan mengkulturkan bakteri Serratia marcescens dalam media peptone glycerol broth pH 9, pigmen actinorhodin paling banyak diproduksi dengan mengkulturkan bakteri Streptomyces dalam media YMG Agar atau Bottcher-Conn’s Medium pH 7, dan pigmen violacein paling banyak diproduksi dengan mengkulturkan Janthinobacterium lividum dalam media yang mengandung pepton dengan pH 9. Pigmen warna yang diproduksi bakteri tersebut dapat digunakan untuk mewarnai berbagai jenis kain mulai dari katun (jenis kain yang paling umum digunakan untuk membatik), poliester, serat akrilik, hingga sutra dan cenderung menghasilkan warna-warna yang lembut. Jika menginginkan warna yang lebih mencolok, dapat dilakukan dengan menambahkan mordan alami (penguat warna). Stabilitas warna pigmen setelah diaplikasikan pada kain juga dapat ditingkatkan dengan merendam kain ke dalam thiourea, agar tidak mudah pudar atau luntur. Kualitas warna dari pigmen bakteri pun sangat mirip dengan pewarna sintetis. Contohnya saja, salah satu pigmen warna merah (prodigiosin) yang diekstraksi dari Serratia marcescens, secara kolorimetri menghasilkan warna yang sangat identik dengan pewarna sintetis tekstil merah standar yang digunakan sebagai pembanding, yaitu Ponceau 4R.
Penelitian ini dilakukan secara daring melalui pengumpulan data dan informasi dari jurnal-jurnal ilmiah ke dalam suatu narrative review oleh salah satu tim PKM-PE Universitas Gadjah Mada yang beranggotakan 3 mahasiwa Fakultas Biologi yaitu Daniel Saputra Wahyudi (2017), Isa Joda Nugraha (2017), dan Moses Atmajadwiputra Polela (2018) dengan Dosen Pendamping Lisna Hidayati, S.Si., M. Biotech. Daniel dan kawan-kawan akan melaju dalam ajang PIMNAS 33 akhir November mendatang.