Kondisi alam saat ini menjadi perhatian banyak ahli. Begitu halnya dengan perubahan iklim yang dewasa ini disinyalir akibat pola kehidupan manusia yang terus berusaha mengeksploitasi alam untuk kebutuhan hidupnya. Kebutuhan air, udara dan sumber kehidupan lainnya biasanya dibutuhkan secara bersamaan, yang tidak hanya dibutuhkan secara primer tetapi bahkan kualitas hidup mewah yang lebih nyaman. Kebutuhan tersebutlah mendorong manusia semakin “rakus” dalam pengelolaan alam tanpa mempertimbangkan faktor keseimbangan alam. Pola hidup komersialisasi terhadap sumber daya alam, dengan menebang hutan, menempati daerah penyangga hutan dan atau menempati daerah aliran sungai menjadi pola tersendiri pada manusia, akibatnya banjir dan longsor menjadi berita keseharian.
Memperlajari kearifan lokal melalui eksplorasi kondisi masyarakat, serta menjelaskan pandangan hidup masyarakat menjadi hal penting yang bermakna pada pemahaman budaya. Meskipun sebenarnya secara naluri masyarakat di nusantara kaya akan pemahaman, pengetahuan dan pandangan hidup yang bernuansa kepedulian pada keseimbangan alam. Banyak kearifan ekologis yang termanifestasi dalam budaya hidup seimbang dengan alam. Ketika masyarakat mengelaborasi dan mempraktikan konsep tersebut, maka secara langsung pula alam akan bersahabat dan memberikan lingkungan yang nyaman. Seperti halnya masyarakat yang berada di sekitar hutan Wonosadi, Ngawen, Gunung Kidul Yogyakarta yang masih mempertahankan sikap hidup seimbang dengan alam, dengan menjaga kearifan ekologisnya melalui ritual mistis. Pandangan masyarakat terhadap eksistensi dan makna hutan mengarah pada konsep ekologi, yaitu: hutan sebagai penyedia air, hutan sebagai pelestarian mata air, hutan melindungi erosi, hutan menjaga polusi udara, agar tetap sejuk dan segar serta hutan juga sebagai pendukung konservasi alam.
Kesempatan dan pemikiran yang baik tersebut ditangkap oleh Fakultas Biologi UGM, bersama dua orang mahasiswa dari Charles Darwin University yang sedang melakukan studi banding di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Fakultas Biologi mencoba untuk mempelajari permasalahan ekologi pada hutan adat di Wonosadi tersebut, sampling analisis vegetasi dilakukan di sekitar Desa Beji, yang berimplikasi terhadap konservasi cadangan air di Desa Beji nantinya. Hasil penelitiannyapun telah di presentasikan pada hari Jum’at, 05 Agustus 2016 di Fakultas Biologi. Dalam presentasinya mereka menyampaikan bahwa sejauh ini mereka berpikir tentang pentingnya air sebagai evaporation dan transpiration dengan tujuan akhir adalah “economic forest”. Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa Cyathocalyx sp., Syzygium racemosum, Syzygium aquenum, Tectona grandis dan Syzigium cumini cukup mendominasi di hutan tersebut. Kehadiran tumbuhan Tectona grandis mencapai 33% dalam sample site, dengan nilai yang signifikan terhadap economic value, walaupun sebagian besar keragaman jenis ini sangat rendah, yang hanya ditemukan dalam bentuk pohon dan tidak ditemukan dalam bentuk seedling. Sementara dukungan data sekunder berupa pengukuran cahaya matahari, kelembaban dan temperatur telah dilakukan. Mereka menarik kesimpulan bahwa hutan adat wonosadi merupakan hutan yang dapat melindungi dan menyediakan ekosistem alam, hutan tersebut memiliki nilai yang tidak terhingga secara konservasi ekosistem. Selain itu, keragaman alami dari jenis tumbuhan yang ada dapat membantu pelestarian air resapan pada debit air yang ada di sekitar lokasi.
Masyarakat menyadari bahwa kesinambungan, kesadaran akan eksistensi hutan merupakan manifestasi konsep hubungan Manusia dengan Tuhan dan Manusia dengan alam semesta. Hutan sebagai keberkahan dari Tuhan Pencipta Alam kepada manusia, begitu pula dengan mata air yang telah diberikan yang tidak pernah berhenti. Bersyukur untuk kelestarian alam adalah salah satu tujuan mereka. Sementara Adat dengan berbagai manifestasinya masih akan ada dan hidup di sekitar Wonosadi.