Yogyakarta, 25 November 2017 – Etnoekologi menjadi suatu kajian yang tengah hangat diangkat dalam perkembangan pengelolaan ekosistem saat ini. Kajian ini kemudian dipersembahkan oleh Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) Biologi UGM melalui sebuah Talkshow interaktif yang mempertemukan guru besar dan ahli dari multi latarbelakang terkait etnoekologi. Talkshow Etnoekologi Indonesia dengan tema “Harmonisasi Alam dan Manusia melalui Nilai Kearifan Lokal di Indonesia” digelar di Auditorium Fakultas Biologi UGM. Kegiatan Talkshow yang dimulai pukul 08.00 WIB ini dipenuhi peserta dari berbagai macam instansi dan latar belakang, salah satunya dari media detik.com, Universitas Negeri Medan, Universitas Indonesia, hingga Universitas Cendrawasih Papua. Animo peserta terhadap kajian etnoekologi sangat tinggi, hal tersebut ditunjukkan melalui jumlah partisipan yang hadir melebihi kuota yang ditentukan sebelumnya.
Sambutan dari Ketua Panitia Talkshow, Andang Syaifudin, menjadi pembuka acara sekaligus melaporkan latar belakang terbentuknya kegiatan ini dan perkembangan sampai acara ini terlaksana. Dr. Diah Rachmawati, sebagai Kaprodi S2 Pascasarjana Biologi UGM, turut menjelaskan bahwa kegiatan Talkshow ini sebagai bentuk peduli dan concern Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) Biologi UGM terhadap isu konservasi, yang dapat dikembangkan melalui kearifan lokal. Beliau juga mengharapkan partisipan yang hadir dapat mengembangkan nilai-nilai konservasi di sekitarnya melalui inspirasi dari talkshow ini. Bapak Rury Eprilurahman, S.Si. M.Sc. menjadi perwakilan dari Dekanat Fakultas Biologi UGM yang secara resmi membuka acara dan memberikan sambutan dalam talkshow ini. Beliau menyampaikan bahwa talkshow dengan tema yang cukup menarik ini perlu dimanfaatkan dengan baik serta dapat memberikan implementasi yang nyata di daerah masing-masing.
Mukhlis Jamal Musa Holle, M.Sc.Env didaulat sebagai moderator yang memandu jalannya Talkshow Etnoekologi. Beliau menyampaikan bahwa diskusi dibagi menjadi dua jenis, yaitu diskusi panel dan diskusi parallel. Penyampaian materi pertama oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A.,M.Phil.,Ph.D. mengenai materi “dari Etnosains ke Etnoekologi”. Materi yang menarik ini mengulas asal usul bagaimana antropolog mulai mendeskripsikan kebudayaan yang beragam menggunakan studi perbandingan, klasifikasi kebudayaan dan generalisasi. Salah satu hal yang menarik adalah ilmu linguistic yang berperan untuk membantu antropolog mendeskripsikan kebudayaan melalui pendekatan phonemics (seperti penutur asli atau ‘tineliti’) dan Phonetics (seperti anjad dari peneliti atau ‘peneliti’). Pengetahuan lingkungan menurut pandangan orang yang kita teliti (suku bangsa tertentu) disebut etnoekologi. Penuturan dari guru besar antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM ini disambut dengan beberapa pertanyaan dari peserta Talkshow. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah solusi yang menjawab tantangan bagi antropolog/peneliti muda untuk mengkaji etnoekologi dari suatu suku terkait periode penelitian yang memerlukan kurun waktu yang lama padahal masa studi sangat terbatas.
“Tips untuk peneliti etnoekologi yang terkendala waktu untuk meneliti, salah satunya adalah sebisa mungkin mempelajari dan menguasai bahasa setempat sehingga semakin mudah akan bisa masuk ke masyarakat. Caranya melalui belajar grammar bahasa lokal dari anak SMA daerah tersebut, memperkaya kosakata dari anak-anak, sampai ibu-ibu. Jika hal tersebut terlalu lama, maka belajar meneliti budaya sendiri. Hal yang terpenting untuk dilakukan dalam penelitian sosial budaya adalah partisipasi observasi dalam kehidupan bermasyarakat” tutur Prof. Heddy Ahimsa menjawab pertanyaan peserta.
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Prof. Dr. I Gusti Putu Suryadarma mengenai Sustainable life based on Etnoecology. Beliau menuturkan bahwa seluruh manusia yang berada di alam perlu membatasi keinginan berdasarkan kebutuhan, sehingga yang perlu dipelajari saat ini adalah berapa jumlah asupan untuk membentuk kebudian manusia. Beliau mengulas kehidupan di Bali, bahwa padi itu dihormati sebagai Dewi Sri (Dewi Padi) bukan hanya sebuah pangan saja, sehingga penghormatan tersebut yang membentuk kultur/budaya menggunakan sumberdaya sebanyak yang dibutuhkan. Sumberdaya air di Bali juga dimanfaatkan secara maksimal dengan menggunakan metode irigasi sebagai pembangkit listrik, sehingga air yang mengalir jangan sampai masuk ke laut sia-sia. Pemaparan materi dari beliau yang sangat menarik dan interaktif membangkitkan antusiasme dari partisipan sehingga banyak pertanyaan yang muncul dari peserta. Salah satu pertanyaan yang diajukan partisipan terkait elaborasi dan kolaborasi peran penduduk lokal dan pemerintah terkait dalam atraksi berburu paus di NTT. Beliau memberikan pandangan bahwa perlu ada sustainable development dalam suatu atraksi budaya yang kemudian dikomersilkan melalui wisata. Perlu dikaji ulang berapa maksimal hasil buruan yang boleh didapat dan batasan waktu penangkapan paus sehingga wisata tersebut menjadi suatu atraksi budaya yang terbatas dan memiliki nilai ekonomi tinggi.
Materi selanjutnya mengenai “Peran Awig-Awig untuk melestarikan Jalak Bali” disampaikan oleh Dr. FX Sudaryanto, seorang alumnus Fakultas Biologi UGM yang menjadi Dosen Biologi di Universitas Udayana, Bali. Beliau memaparkan hasil penelitian disertasinya bahwa saat konservasi satwa dilebur dalam aturan adat, contohnya Awig-Awig di Bali, maka efektifitas pelestarian satwa juga turut meningkat seiring dengan ketaatan masyarakat untuk mematuhi hukum adat tersebut. Jalak Bali adalah salah satu dari burung paling kritis di dunia, perdagangan ilegal adalah faktor utama penurunan populasi spesies tersebut. Pencurian spesies ini banyak terjadi di penangkaran, terutama pada tahun 1999. Aturan yang melindungi populasi burung langka ini adalah Peraturan Desa di Bali Barat, sedangkan di Nusa Penida mengggunakan awig-awig. Masyarakat menganggap bahwa burung-burung tersebut milik pura sehingga tidak diganggu. Jika ada yang mengganggu/menangkap burung tersebut maka akan mendapatkan sanksi sosial yang tercatat selama turun temurun di pura. Hal yang sangat dilarang adalah tidak boleh berburu satwa, khususnya Jalak bali, namun akan diperbolehkan apabila untuk pengobatan dengan rekomendasi kuat dari ketua adat. Pertanyaan peserta yang dilontarkan kepada Dr. FX Sudaryanto, salah satunya adalah bagaimana introduksi kebijakan konservasi Jalak Bali sampai masuk ke awig-awig. Beliau kemudian menjelaskan bahwa seluruh masyarakat adat Nusa Penida ikut terlibat dalam perumusan konservasi Jalak Bali, dan juga tidak ingin merasakan dampak hilangnya spesies tersebut di alam.
Tujuan acara ini diselenggarakan selain menjadi gelaran akbar dari Keluarga Mahasiswa Pascasarjana Biologi UGM juga menjadi wadah inspirasi bagi seluruh kalangan untuk kembali menengok nilai-nilai luhur dari budaya Indonesia yang digunakan untuk menjaga kelestarian alam Indonesia. Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung sehingga acara ini terselenggara dengan baik, bahkan di luar ekspektasi. Terima kasih kepada seluruh sponsor yang telah memberi bantuan dan bekerja sama demi terselenggaranya acara ini, antara lain percetakan mangrove, SS, minimarket lestari, dan Tangguh Creative Production. (Uni Sutiah/MEIJIG KMP Biologi UGM)