Menurut Nasional Geografi Indonesia (2019), Indonesia menduduki urutan keenam sebagai negara dengan penurunan biodiversitas tertinggi di dunia menyebabkan banyak spesies mengalami ancaman kepunahan. Salah satu spesies yang terancam punah adalah Dendrobium capra. Anggrek ini tercatat berada dalam status Appendix II dalam CITES dan Endangered dalam IUCN. Kurangnya perhatian terhadap anggrek ini menyebabkan Dendrobium capra mengalami penurunan populasi yang cukup signifikan. Selain itu, salah satu populasi yang ditemukan berada pada wilayah hutan produktif di Gunungkidul yang rawan terhadap intervensi manusia. Permasalahan tersebut kemudian menarik perhatian mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Eksakta (PKM-RE). Mereka berinisiatif untuk melakukan penelitian terkait Dendrobium capra yang mulai langka sekaligus new record karena baru ditemukan di wilayah Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Tim PKM yang akrab disapa D’caprangers diketuai oleh Akmal Bunyamin (angkatan 2021) yang beranggotakan Syafira Nurul Aisya (angkatan 2021), Astrid Rayna Afandi (angkatan 2022), Nimas Sukma Puspita (angkatan 2022), dan Dary Saka Fitrady (angkatan 2023) dibawah bimbingan Prof. Dr. Budi Setiadi Daryono, M. Agr. Sc. Tim PKM ini melakukan studi struktur populasi anggrek Dendrobium capra sebagai upaya pemantauan eksistensi anggrek ini di habitat aslinya, dilakukan juga konstruksi DNA barcoding untuk memudahkan proses identifikasi spesies ini karena sulitnya membedakan antarspesies Dendrobium hanya dengan pengamatan morfologinya dan menyediakan barcode sebagai identitas Dendrobium capra pada database.
Survei studi populasi dilakukan di hutan kecil yang berlokasi di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul pada ketinggian 192-211 mdpl dengan suhu rata-rata 33,9°C dengan tingkat kelembaban 33%. Dalam populasi tersebut, ditemukan sebanyak 103 individu D. capra yang hidup secara epifit menempel pada pohon mahoni (Swietenia sp.) dan pohon jambu air (Syzygium sp.). Selain itu, dilakukan pula analisis filogenetik menggunakan gen ITS2 yang menghasilkan bahwa D. capra memisah dengan spesies Dendrobium lainnya dan membentuk klaster dengan spesies Dendrobium lain dalam section Spatulata.
Akmal Bunyamin, ketua tim PKM-RE D’Caprangers mengatakan bahwa melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa gen ITS2 berhasil digunakan sebagai penanda molekuler yang efektif dalam mengidentifikasi anggrek D. capra hingga tingkat spesies. Kemudian hasil sekuensing dari D. capra digunakan untuk menciptakan barcode sebagai identitas dari D. capra. Tentu tidak mudah dalam merancang penelitian ini hingga akhirnya selesai menghasilkan sebuah produk barcode.
“Dengan dilakukannya penelitian ini, Dendrobium capra dapat diselamatkan dari ancaman kepunahan dengan memantau kondisi di habitat alaminya dan data ini dapat digunakan untuk menyusun strategi konservasi lebih lanjut,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan bahwa produk barcode dapat disetorkan ke basis data genetik publik seperti NCBI sebagai identitas resmi D. capra secara molekuler. Hal ini penting dilakukan karena sekuens tersebut belum tersedia dalam database dan diperlukan untuk memudahkan proses identifikasi D. capra yang semakin langka. Ia berharap dengan adanya penelitian ini dapat menjadi salah satu upaya dalam melestarikan biodiversitas Indonesia khususnya anggrek Dendrobium capra sebagai salah satu puspa pesona Indonesia agar tidak mengalami kepunahan. [Penulis: Nimas Sukma Puspita]