Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas flora dan fauna terbesar kedua setelah Brazil. Oleh karenanya, Indonesia juga disebut sebagai negara megabiodiversity. Namun sayangnya, kekayaan biodiversitas tersebut belum dikelola secara optimal karena beberapa dekade sebelumnya masih dipandang sebelah mata. Kekayaan biodiversitas saat ini terus tergerus oleh kerusakan ekosistem flora dan fauna, yang beberapa diantaranya disebabkan oleh illegal logging, pembakaran hutan, penambangan mineral dan bahan bakar berbasis fosil. Kehilangan biodiversitas dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar untuk kepentingan masa depan, karena biodiversitas merupakan cadangan sumber daya yang signifikan untuk keberlangsungan generasi mendatang. Laju kerusakan ekosistem dan kehilangan biodiversitas bisa dikatakan cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari penambahan daftar flora dan fauna yang masuk dalam kategori endangered. Hingga tulisan ini disusun, telah ada paling tidak sejumlah 1567 spesies flora dan fauna di Indonesia yang masuk dalam endangered species (http://earthsendangered.com).
Untuk mencegah dan mengurangi laju kehilangan biodiversitas, pemerintah Indonesia bersama dengan UNDP (United Nation for Development Program) menyelenggarakan program pembiayaan untuk konservasi dan reservasi biodiversitas. Namun sayangnya, hingga saat ini alokasi yang dianggarkan masih jauh dari mencukupi yaitu baru sekitar 6% dari kebutuhan dan Indonesia baru berperan sebesar 0,5% setiap tahunnya. BIOFIN Indonesia merupakan bentuk kerjasama pemerintah Indonesia dan UNDP untuk menstimulasi pembiayaan konservasi biodiversitas di Indonesia. “Indonesia memiliki 552 unit Kawasan konservasi dengan total luas mencapai 27,12 juta Ha atau 21% dari luas Kawasan hutan Indonesia, dengan ketersediaan sumber daya genetik yang sangat tinggi” ucap Dida Gardera dalam paparannya di seminar tersebut. Biodiversitas tidak hanya bernilai ekonomi karena wujud atau produk yang dihasilkan saja, namun biodiversitas memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi karena perannya sebagai penyerap karbon, reservasi energi terbarukan, dan lainnya.
Robert Manurung, salahsatu narasumber dalam seminar dalam paparannya menyatakan bahwa bioekonomi tidak hanya berwujud nilai hasil produksi saja, namun produk-produk sampingan yang sering disebut sebagai limbah bahkan dapat memiliki nilai ekonomi yang berpuluh kali lipat dari nilai produk utamanya, jika kita mau dan mampu mengolahnya. Misalnya padi, hingga saat ini mayoritas beranggapan bahwa produk yang paling mahal yang dihasilkan padi adalah beras. Namun, jika kita mau mengolah limbah padi seperti jerami untuk produksi silica, dan kulit padi untuk biodiesel maka nilai intrinsik beras hanya menjadi sepersepuluh dari dua produk sampingan tadi. Selain itu, apabila pertanian dan perkebunan dikelola berdasarkan atas konservasi siklus materi dan energi, maka penggunaan pupuk sintetis dapat ditekan dan hasil produknya berlipat dibanding dengan yang mengandalkan pupuk.
Untuk menggalang pembiayaan biodiversitas, pemerintah Indonesia dalam hal ini BIOFIN Indonesia berusaha untuk menggandeng berbagai elemen untuk berperan serta seperti BUMN dan perusahaan-perusahaan privat melalui penggalangan dana CSR. Sebagai salahsatu contoh, Bank Rakyat Indonesia (BRI) hingga saat ini telah memiliki 46 desa binaan di berbagai pulau di Indonesia. “Hingga 2018, BRI juga telah menyalurkan dana sebesar Rp 104 milyar untuk konservasi dan pemberdayaan biodiversitas” papar Agus Rachmadi.
Menyongsong era industri 4.0, biodiversitas merupakan potensi yang sangat besar. Namun pertumbuhan ekonomi dari sektor berbasis biodiversitas (pertanian, perkebunan, dan perikanan) masih relative rendah, yaitu sebesar 4%. Pertumbuhan ekonomi 2018, menunjukkan bahwa saat ini sektor yang menjadi andalan adalah transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, serta konstruksi dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 8 %, 7%, dan 6%. Hal ini disampaikan Berly Martawardaya dalam paparannya. Beliau juga menyampaikan bahwa tahun 2018 nilai investasi untuk basis ekonomi biodiversitas juga masih sangat rendah, menduduki ranking ke-6 setelah investasi dalam bidang konstruksi. Transportasi dan telekomunikasi menduduki rangking pertama dengan total nilai investasi Rp 44 trilyun.
Seminar BIOFIN, Indonesia Bioeconomy Outlook 2019, ini di selenggarakan di Hotel Borobudur Jakarta pada 20 Desember 2018. Pada kesempatan ini, dua staff Universitas Gadjah Mada yaitu Dr. biol.hom. Nastiti Wijayanti, S.Si., M.Si. (mewakili LPPM UGM), dan Sukirno, S.Si., M.Sc., Ph.D. (mewakili Fakultas Biologi UGM) berkesempatan untuk berperan dalam seminar tersebut. Seminar ini juga dihadiri oleh perwakilan beberapa NGO, BUMN, dan Bank. (Sukirno)