Diabetes melitus (DM) menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Di Indonesia, angka prevalensi DM pada usia dewasa mencapai 10,6%. Pengelolaan DM yang tidak efektif dapat menyebabkan komplikasi metabolik, neurologis atau vaskular jangka panjang, sehingga penderita DM lebih rentan terhadap infeksi kaki yang dapat meningkatkan insiden amputasi. Berdasarkan data dari Kemenkes pada tahun 2023, lebih dari satu juta penderita DM di Indonesia telah mengalami amputasi kaki, dan sekitar 80% dari kasus amputasi pada pasien DM dimulai dengan adanya ulkus kaki. Lamanya infeksi luka diabetes disebabkan oleh infeksi akibat tingginya glukosa darah yang meningkatkan proliferasi bakteri. Hal ini juga diperburuk dengan adanya defisiensi sistem imun, sehingga menyebabkan penderita DM mengalami keterbatasan gerak, sehingga menurunkan tingkat produktivitas harian.
Permasalahan yang muncul melatarbelakangi kolaborasi penelitian antara tiga mahasiswa fakultas biologi, yaitu Zahwa Khoirun Nisa (Angkatan 2022), Zatun Nithoghani Hafni (Angkatan 2021), dan Muhammad Nur Ikhsan (Angkatan 2021), serta dua mahasiswa fakultas farmasi, yaitu Sekar Ayu Kusumawardani (Fakultas Farmasi, Angkatan 2022), dan Alvian Chesyar Burhanudin (Fakultas Farmasi, Angkatan 2022) dengan dosen pendamping Dr. apt. Adhyatmika, M.Biotech. dalam membuat sediaan patch topikal dengan mengangkat nilai dua produk alami lokal Indonesia, yaitu minyak ikan patin dan silika ampas tebu untuk digunakan sebagai alternatif pengobatan luka diabetik. Penelitian yang dilakukan oleh tim sobatepat ini didanai oleh Kemendikbudristek dan merupakan bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Eksakta (PKM-RE).
Pengobatan yang umum diberikan pada pasien dengan luka diabetik adalah terapi antibiotik. Namun, penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan resistensi antibiotik dan berimbas pada proses pengobatan yang kurang efektif. “Alasan kami memilih sediaan patch dalam penelitian ini adalah untuk mencegah penggunaan antibiotik yang berlebihan sekaligus memastikan penghantaran obat pada luka dengan dosis yang lebih terukur dan terkontrol”, tutur Zahwa selaku ketua tim. Hafni turut menambahkan bahwa sediaan patch juga cocok untuk pasien yang tidak cocok dengan sediaan oral serta dapat menghindari first pass effect dan menjaga bioavaibilitas pada obat.
Pemilihan bahan baku berupa minyak ikan patin dan ampas tebu bukan tanpa alasan khusus. Minyak ikan patin sendiri mengandung asam lemak esensial omega-3 yang telah diketahui dapat membantu proses penyembuhan luka. Sebuah kebaharuan dilakukan dalam penelitian ini dengan menambahkan biosilika ampas tebu kedalam formulasi patch. Biosilika ampas tebu tersebut telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri dalam membantu penyembuhan luka.
Bahan baku ampas tebu didapatkan dari hasil sisa penggilingan tebu yang ada di PT. Madubaru. “Kami mengambil limbah ampas tebu yang menumpuk, lalu difurnace dengan suhu 600 °C selama 1 jam. Abu ampas tebu yang dihasilkan selanjutnya dilarutkan dalam NaOH dan diasamkan dengan HCl hingga terbentuk gel. Gel inilah yang kemudian dioven hingga terbentuk serbuk silika”, jelas Ikhsan. Biosilika yang dihasilkan selanjutnya dikombinasikan dengan minyak ikan patin untuk membuat 3 jenis formulasi dengan konsentrasi bahan aktif (minyak ikan patin : biosilika) yang berbeda-beda, yaitu F1 = 25:75; F2 = 50:50; dan F3 = 75:25). “Kami membuat nanoemulsi dengan 3 formulasi yang berbeda, kemudian diukur partikelnya. Selanjutnya, dari nanoemulsi ditambahkan basis gel membentuk nanoemulgel dan diolah hingga membentuk sediaan patch”, jelas Alvian.
Tak selesai disitu, patch yang dihasilkan diujikan pada tikus model diabetes mellitus. “Tikus model diabetes dilukai dan diberi perlakuan yang berbeda-beda, termasuk diberikan ketiga formulasi patch. Proses pengamatan diameter lukanya dilakukan dari hari ke-1 hingga ke-7”, jelas Sekar. Data pengamatan diameter luka dianalisis dan diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan perlakuan pemberian patch terhadap proses penyembuhan luka diabetik. Berangkat dari Kesimpulan tersebut, data dianalisis lebih lanjut dan didapatkan Formulasi 1 (25:75) sebagai formulasi yang paling optimal dalam membantu proses penyembuhan luka diabetik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan teori dalam pengembangan terapi komprehensif untuk membantu mempercepat proses penyembuhan luka diabetik. Dengan kemajuan ini, kami berharap dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup para penderita diabetes dan membantu mereka mencapai kesehatan serta kehidupan yang lebih Sejahtera. [Penulis: Zahwa Khoirun Nisa]