Upaya mitigasi perubahan iklim dari sektor peternakan kurang terdengar gaungnya di Indonesia. Meskipun angka kontribusi dari sektor ini masih kecil apabila dibandingkan dengan sektor industri dan sektor energi, kontribusi sektor peternakan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dapat membantu menurunkan suhu bumi serta mencegah pemanasan global yang ekstrem. Berdasarkan data BMKG (2022), rata-rata konsentrasi emisi gas metana di dunia terus mengalami kenaikan sejak Januari 1980 sebesar 1.620 ppb hingga Desember 2021 yang mencapai angka 1.909,3 ppb. Sektor peternakan menjadi penyumbang gas metana terbesar ketiga dengan kontribusi gas metana mencapai 20 hingga 25% emisi dari keseluruhan emisi gas metana di dunia. Emisi gas metana yang dihasilkan dari sektor peternakan sebagian besar dihasilkan oleh ternak ruminansia melalui proses fermentasi di dalam lambungnya yang kompleks (rumen). Nantinya gas metana akan dikeluarkan oleh ternak pada feses dan saat bersendawa.
Permasalahan tersebut menarik perhatian Ahmad Rizal Riswanda Danuartha (Program studi Ilmu dan Industri Peternakan, angkatan 2022), Akmal Bunyamin (Program studi Biologi, angkatan 2021), Anggi Abdillah Surya Amni (Program studi Kimia, angkatan 2022), Yessa Juliaputri (Program studi Manajemen Sumberdaya Akuatik, angkatan 2021), dan Siti Komariyah (Program studi Ilmu dan Industri Peternakan, angkatan 2022) yang tergabung dalam Tim PKM-RE dengan dosen pendamping Moh. Sofiul Anam, S.Pt. M.Sc. untuk memanfaatkan rumput laut (Macroalgae Sargassum sp. dan Gracilaria sp.) yang ada di Pantai Gunung Kidul, Yogyakarta untuk dijadikan sebagai pelet suplemen pakan ternak ruminansia. Pelet suplemen tersebut diharapkan dapat memodifikasi keadaan rumen sehingga dapat mengurangi produksi dari gas metana.
Macroalgae atau yang biasa kita kenal dengan rumput laut berpotensi menjadi sumber pakan yang kaya akan protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, asam amino, dan senyawa bioaktif lainnya. “Alasan kami memilih macroalgae sebagai bahan utama suplemen pakan ternak ruminansia adalah dengan adanya kandungan tanin dan saponin pada makroalga yang memiliki kemampuan menurunkan produksi gas metana. Rumput laut sudah banyak dimanfaatkan pada bidang pangan, pakan dan farmakologi. Tetapi di bidang peternakan terkait pakan aditif merupakan tantangan bagi kami untuk melakukan eksplorasi dan identifikasi senyawa penting yang bisa kami manfaatkan, apalagi menjadikan ini menjadi produk yang siap pakai, berkualitas, dan terjangkau bagi peternak” tutur Ahmad Rizal selaku ketua tim.
Yessa menambahkan bahwa penelitian mengenai potensi rumput laut untuk mitigasi gas metana sudah banyak dilakukan, tetapi belum ada inovasi berupa produk pelet yang siap pakai untuk para peternak. “Produk penelitian kami dijadikan pelet agar peternak lebih mudah mengaplikasikannya sehingga lebih efisien. Selain itu, dengan inovasi berupa suplemen berbentuk pelet, suplemen pakan ternak menjadi lebih awet dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama,” sambung Siti.
PELLETAN dikembangkan melalui pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Eksakta (PKM-RE) dengan sumber dana dari Kemendikbud Ristek. Melalui integrasi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh di bangku kuliah, mereka berhasil membuat suplemen pakan berbentuk pelet dari macroalgae yang nantinya akan diuji keefektifannya melalui uji in vitro di Laboratorium TMT (Teknologi Makanan Ternak) Fakultas Peternakan dan Laboratorium KIMOR (Kimia Organik) UGM.
Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, kabupaten Gunungkidul memiliki deretan pantai yang sangat luas sehingga memiliki potensi budidaya rumput laut, salah satunya terdapat di pantai Trenggole. “Awalnya kami mencari sampel rumput laut di pantai Trenggole Gunung Kidul, lalu rumput laut yang ditemukan diolah menjadi pelet. Setelah itu, kami melakukan uji in vitro di Lab TMT menggunakan cairan rumen yang diambil dari sapi fistula bangsa bali. Kemudian dari uji in vitro tersebut kita ambil gas nya untuk dilakukan analisis produksi gas karbon dioksida dan metananya. Dan setelah hasil uji gas test-nya keluar positif bahwa pakan suplemen ini mampu menurunkan emisi gas metana hasil dari fermentasi rumen.” jelas Akmal.
Berdasarkan uji gas test di Balai Pengujian Standar Instrumen Lingkungan Pertanian Pati terhadap pelet suplemen rumput laut yang dikembangkan Rizal dan kawan kawan, pelet suplemen tersebut berhasil menurunkan produksi gas metana sebanyak 21,19% untuk suplementasi 3% dan 21,38% untuk suplementasi 6%. Selain itu, berdasarkan analisis data dari uji in vitro yang telah mereka lakukan, pelet suplemen rumput laut tersebut mampu meningkatkan kecernaan dari pakan kering sebesar 7,11% hingga 7,29%. Hal ini tentunya merupakan angin segar bagi peternak karena berdasarkan penelitian sebelumnya 3 sampai 12% energi tercerna dari pakan tidak dapat terserap maksimal karena hilang untuk produksi gas metana.
“Kami berharap, dengan adanya inovasi ini, dapat mengurangi gas metana yang dihasilkan dari sektor peternakan, karena selama ini sektor peternakan sering dijadikan kambing hitam atas permasalahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini.” Pungkas Anggi. Penelitian ini tentunya menjadi prestasi yang membanggakan dan berpotensi besar membantu mengurangi produksi gas metana dunia. Dengan begitu, target pengurangan emisi karbon bisa didorong lebih jauh hingga perubahan iklim dapat teratasi. [Penulis: Akmal Bunyamin]