Yogyakarta, 27 Agustus 2024 – Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan Kuliah Umum bersama ahli ekologi konservasi dari School of Life and Environmental Sciences, Deakin University, Australia yaitu Prof. Raylene Cooke, dan Prof. John White. Perkuliahan tersebut dilaksanakan di Ruang Kelas 2, Gedung B, Fakultas Biologi UGM, dan dihadiri oleh mahasiswa sarjana hingga doktor dari Fakultas Biologi UGM.
“Ini adalah kesempatan yang baik untuk kolaborasi berkelanjutan antara Fakultas Biologi UGM dengan Deakin University, Australia” tukas Prof. Budi selaku Dekan Fakultas Biologi UGM dalam sambutannya Selasa (27/8). Prof. Budi juga menyampaikan kepada para mahasiswa untuk memanfaatkan kesempatan ini menggali ilmu yang informasi sebanyak-banyaknya.
Tyas Ikhsan Hikmawan, Ph.D. selaku Dosen Fakultas Biologi UGM yang bertindak sebagai moderator pada kesempatan tersebut selanjutnya memperkenalkan kedua panelis dalam kuliah tamu. Prof. Raylene Cooke merupakan ahli ekologi dan konservasi biologi dengan fokus studinya terkait predator dan respons mereka terhadap dinamika perubahan lingkungan seperti urbanisasi. Prof. John sendiri merupakan ahli ekologi yang berfokus pada respon spesies terhadap gangguan di ekosistem baik gangguan alami, maupun yang disebabkan oleh manusia.
Kedua ahli ekologi dari Deakin University Australia tersebut menyajikan presentasi yang bertajuk “Silent Killers! The impact of rodenticides on native wildlife and human health across the Asia-Pacific. Are rodenticides the modern DDT?”. Pada kesempatan tersebut, keduanya menyoroti penggunaan pestisida yang naik signifikan seiring dengan kenaikan populasi manusia di dunia. Hal tersebut berimbas tidak hanya pada sektor agrikultur namun juga ekosistem spesies seperti satwa liar hingga kesehatan manusia.
Mengutip karya Rachel Carson (1962) dalam bukunyaa “Silent Spring”, Prof. John menyebutkan DDT atau dichloro-diphenyl-trichloroethane, insektisida sintetis yang dikenal sebagai bahan kimia menakjubkan “wonder chemical” namun memiliki efek besar terhadap ekologi hingga kesehatan manusia dan saat ini sudah dilarang pengunaannya di sebagian besar negara dunia. Prof. John menyoroti efek DDT yang terakmulasi hingga rantai makanan tingkat tinggi seperti predator menunjukkan bagaimana DDT tidak terurai dengan cepat dan terkonsentrasi dalam jaringan lemak hewan. Hal ini dinilai menjadi menyebab penurunan jumlah burung predator di dunia.
Rodentisida, Prof. John menyebutkan, menjadi potensi silent killer selanjutnya dimana penggunaannya cukup massif umumnya di rumah tangga hingga industry agrikultur, mengingat tikus merupakah hama yang mengancam pangan dengan signifikan. Sayangnya, rodentisida tidak hanya mematikan tikus namun juga meracuni rantai makanan di atasnya, para predator yang menjadikan tikus sebagai salah satu target buruannya. Beberapa diantaranya menjadi fokus riset Prof. John dan Prof. Raylene yaitu Elang hingga Burung Hantu.
Prof. Raylene dalam presentasinya menunjukkan second-generation anticoagulant rodenticide (SGAR) banyak ditemukan dalam berbagai spesies di alam liar. Hal tersebut berimbas pada kematian banyak spesies yang menunjukkan akumulasi SGAR tinggi meracuni liver mereka. Melalui isu tersebut, kedua ahli ekologi turut mengajak kolaborasi riset ARMS atau Anticoagulant Rodenticide Monitoring System dengan peneliti di kawasan Asia Pasifik. Riset tersebut diharapkan akan bisa berkontribusi dalam penanganan kematian hewan liar akibat rodentisida maupun pengambilan kebijakan terkait.
Para peserta antuasias dalam mengikuti perkuliahan tersebut hingga kritis dalam sesi tanya jawab selanjutnya. Melalui kuliah umum tersebut diharapkan dapat menjadi pendorong inovasi khususnya para civitas akademika dalam kontribusi riset pelestarian ekosistem yang berkelanjutan (SDG 4 dan 15) melalui kolaborasi antara Fakultas Biologi UGM dan Deakin Univerisity khususnya School of Life and Environmental Sciences (SDG 17).