Yogyakarta, 3 Juli 2024 – Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada menerima kunjungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Republik Indonesia yang terdiri atas Tim Direktorat Kehutanan BAPPENAS. Pertemuan tersebut dalam rangka diskusi dan kunjungan lapangan terkait rangka penelitian dan pengembangan sumber daya genetik keanekaragaman hayati di Indonesia. Kunjungan tersebut diterima di Ruang Sidang KPTU Fakultas Biologi UGM, turut dihadiri oleh Prof. Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc. selaku Dekan Fakultas Biologi, Dr. Eko Agus Suyono, M.Sc. selaku Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Alumni, dosen dari berbagai laboratorium di Fakultas Biologi, serta Kepala Pusat Inovasi Agroteknologi UGM, Alan Soffan, S.P., M.Sc., Ph.D.
Prof. Budi selaku Dekan Fakultas Biologi menyambut baik kunjungan lapangan dari BAPPENAS, terlebih dukungan terhadap kurasi sumber daya genetik untuk biodiversitas sangat diperlukan untuk keberlanjutan ekosistem. Beliau, didampingi oleh Dr. Eko menyampaikan profil Fakultas Biologi. Beliau menggaris bawahi keresahan di dunia biologi terhadap kurasi hayati melalui pembentukan program studi terbaru di Fakultas Biologi, Profesi Kurator Keanekaragaman Hayati (PKKH).
Pak Alan selaku Kepala Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) UGM turut menyambut baik kunjungan BAPPENAS. Beliau menyampaikan PIAT turut mendukung upaya pengelolaan biodiversitas Indonesia kedepannya. Rekan BAPPENAS turut berencana untuk mengunjungi kawasan PIAT UGM di Berbah, Sleman, Yogyakarta.
Farida Yulistianingrum, S.Si., ME, MPP, dari BAPPENAS, mengungkapkan bahwa BAPPENAS menyadari potensi keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik Indonesia. Kunjungan BAPPENAS tersebut bertujuan untuk menggali data, informasi, dan pandangan pakar/akademisi dan instansi terkait gap dalam pengembangan sumbur daya genetik. Upaya pengembangan tersebut kemudian akan dilanjutkan dengan pemetaan maupun analisis biodiversitas di setiap regional. Bu Farida turut menyadari adanya tantangan terkait riset ditingkat perguruan tinggi, hingga regulasi-regulasi yang dianggap belum atau kurang mendukung pelaksanaan penelitian.
“Pengelolaan sumber daya belum terkoneksi, masing lebih banyak tersimpan di tingkat individu peneliti universitas,” tukas Prof. Budi. Beliau turut menyampaikan keresahan yang mendorong pembentukan Indonesia Biodiversity Index (IBI) sejak 2019 lalu. IBI bekerja sama dengan Forum Komunikasi Konservasi Indonesia (FKKI) dan berbagai Non-Government Organization (NGO) di Indonesia untuk pengumpulan dan berbagi data biodiversitas. Prof. Budi menegaskan banyaknya data yang dihasilkan oleh peneliti Indonesia, namun tersebar dalam bentuk thesis, buku, dan sebagainya. Upaya kurasi data tersebut telah berjalan selama empat tahun, dan pada tahun 2024 sendiri sudah menghasilkan tidak kurang dari 11.000 informasi data status dan tren spesies. Dr. Miftahul Ilmi yang bernaung di bawah Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi selanjutnya menambahkan, culture collection berbagai genom mikrobia di Indonesia masih terbatas. Koleksi terbesar ada saat ini dikelola oleh Laboratorium Indonesian Culture Collection (InaCC) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sedangkan koleksi lainnya dikelola oleh peneliti di berbagai universitas di Indonesia. Kultur tersebut hanya sebesar 0,4% dari keseluruhan culture collection di dunia.
Dr. Eko dengan fokus riset mikroalga-nya di bawah Laboratorium Bioteknologi turut menyampaikan urgensi dalam kurasi kultur tersebut, diantaranya biaya pemeliharaan kultur yang mahal termasuk sumber daya manusia yang bisa mengelola kultur, serta tidak adanya database khususnya database bioprospeksi. Menurutnya, database tersebut krusial untuk kemajuan negara khususnya kontribusi terhadap berbagai industri seperti farmasi, dan sebagainya.
BAPPENAS turut mengakui keterbatasan policy/aturan dari pusat hingga regional yang masih berfokus pada nilai ekonomi. Usulan terkait regulasi insentif terhadap upaya konservasi atau biodiversity credit di daerah masih perlu dievaluasi sebagai dukungan pelestarian biodiversitas. Sayangnya, model untuk biodiversity credit lebih banyak berfokus pada area terrestrial dan terbatas pada wilayah perairan.
Dikusi selanjutnya berlanjut pada keresahan pengelolaan database biodiversitas di berbagai bidang kelimuan; entomologi, satwa liar, dan berbagai tumbuhan yang menjadi fokus riset di Fakultas Biologi UGM. Upaya pengelolaan sumber daya genetik dirasa menjadi keresahan darurat sehingga perlu upaya pengelolaan index database Indonesia berkelanjutan, termasuk usulan biodiversity index yang menjadi capaian kinerja daerah.
Kunjungan lapangan tersebut dilanjutkan dengan kunjungan ke Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Fakultas Biologi UGM, serta Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) UGM. Diskusi antara BAPPENAS dengan Fakultas Biologi UGM tersebut diharapkan dalam berkontribusi dalam observasi, pengembangan tata kelola biodiversitas dan regulasi terkait, sehingga Indonesia bisa semakin berdikari dalam pengelolaan biodiversitasnya.